5 Oktober 2004
Bila Tuhan membiarkan aku untuk menyambung hari dari hati yang patah, maka aku memilih untuk menjadi retak. Di sebuah kisah yang p...
Bila Tuhan membiarkan aku untuk menyambung hari dari hati yang patah, maka aku memilih untuk menjadi retak. Di sebuah kisah yang pernah patah mungkin akan selalu ada retak, yang kemudian dilupakan atau dibiarkan berceceran begitu saja. Bagaimana mereka, sebut saja para pelaku kisah mampu menyambut hari yang seolah tak akan patah. Aku belajar menyambung cerita dari ketiadaan menuju satu titik yang sebenarnya adalah ketiadaan itu sendiri. Setiap orang yang menyukai bulan ini, Oktober adalah mereka yang tengah berusaha untuk mengorbankan air matanya kepada kematian. Dulu aku berharap mampu menemukan ketiadaan di bulan ini, menyukai segala sendu yang pernah mekar dan dihinggapi rasa.
"Oktober tahun 2004, Tuhan membiarkan aku untuk menikmati retak"
*
"Waktu" kata yang selalu kumainkan dalam kalimat-kalimatku adalah rasa dendam. Tumbuh di musim kemarau paling kering, aku tak tahu menahu bagaimana Tuhan menciptakan itu. Mungkin hari ini, saat aku menulis lagi dan menulis, aku tengah memperbanyak retak di dalam perasaanku sendiri. Yang selalu memuja dendam dan tanpa sengaja memintaku untuk lebih menyukai gelap di setiap malam kelima di bulan Oktober. Aku tidak ingin menunggu waktuku, biarkan dia berlari dan rindu untuk datang kepada pemilikinya.
Sekali lagi, aku yang tengah belajar memenjarakan diri pada ketiadaan adalah aku yang mati diam-diam. Semakin panjang tulisan ini, semakin besar dendam ini dan itu kepada waktu. Mungkin Tuhan akan mengajariku tentang keadaan yang menjadikan semua terdengar lebih sederhana pada kekosongan waktu.
Aku akan menyambung hari, menuju kenanganmu, menuju tempatmu.
Ingatanku masih kusimpan di samping gelas besarmu, mungkin di dalam pahit kopi yang kau teguk tiap pagi. Sesaat sebelum aku memintamu untuk menemaniku ke sekolah.
Ingatanku masih kusimpan di kaca spion motor Vespa-mu, tempat aku melihat wajahmu lalu mendengarmu bertanya "Belajar apa hari ini?" lalu kita saling bertukar senyum.
Ingatanku masih kujaga, kubiarkan dia duduk manis mengenangmu di sebuah meja kayu yang kau hadiahkan kepada cucu pertamamu yang pendiam.
Buku tebal yang kau siapkan untukku telah kujaga dan kubaca berulang kali, saat aku rindu dengar suaramu yang marah karena aku yang malas tidur siang atau malas makan dan malas-malas lainnya yang sengaja kuciptakan.
Aku rindu menemanimu, menunggu istrimu yang keluar kota karena ingin menjenguk anak dan menantunya. Bila waktu seperti itu datang, kau selalu mengajakku keliling dengan motor vespa-mu, mengunjungi saudara-saudaramu.
Atau mengencangkan volume radio di siang hari sebagai upaya menghilangkan rasa sepi. Perasaanku yang retak itu telah kau sambung dengan banyak cara. Aku merasa kau adalah teman yang paling baik, selamanya. Mungkin "waktu" akan jadi teman selanjutnya, aku akan mematahkan dendamku satu per satu. Kau mengajariku untuk bersabar dengan retak. Terima Kasih
Makassar, 3 Oktober 2013
- untukmu yang meninggal dunia pada usia 79 tahun.
Post a Comment: